Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (2024)

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (1)

Sumber gambar, Koleksi Komnas HAM

Informasi artikel
  • Penulis, Ayomi Amindoni
  • Peranan, BBC News Indonesia

“26 tahun ini masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia tidak pernah diperbincangkan, tapi justru disangkal.”

Begitu ucap aktivis perempuan dan kemanusiaan, Ita Fatia Nadia, ketika ditanya bagaimana dirinya merefleksikan kekerasan yang dialami perempuan dalam peristiwa Mei 1998. Sedikitnya 85 perempuan – sebagian besar etnis Tionghoa – menjadi korban. Jumlah sebenarnya diperkirakan jauh lebih dari itu.

Ita yang kini mengepalai Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS) Perempuan ini mengatakan, yang selalu digaungkan terkait Reformasi adalah bagaimana mahasiswa menjatuhkan Soeharto, menentang pemerintahan yang otoriter, memperjuangkan demokrasi.

Tapi sayangnya, menurut Ita, gema Reformasi menegasikan persoalan kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan Indonesia – kebanyakan dari mereka adalah etnis Tionghoa – dalam peristiwa Mei 1998.

“Tiga hal itu yang selalu diangkat sebagai puncak dari reformasi. Tetapi bahwa Reformasi telah mengorbankan sebuah tragedi tentang perkosaan masalah perempuan tidak pernah diungkap, bahkan disangkal,” ujar Ita.

Pemerintah Indonesia melalui Tim Pemantau Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) menawarkan program pemenuhan hak korban sebagai bentuk komitmen penyelesaian non-yudisial.

Namun, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai program yang mensyaratkan pendataan korban itu dikhawatirkan justru akan memicu konflik baru.

Masa kerja Tim Pemantau PPHAM berakhir pada 31 Desember 2023 silam dan hingga kini belum ada tim baru yang menggantikannya, memicu kekhawatiran aktivis terkait penyelesaian non-yudisial yang kembali terkatung-katung di tengah mekanisme yudisial yang mandek sejak lama.

Peringatan: Artikel ini memuat detail tentang kekerasan seksual.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (2)

Sumber gambar, Erik Prasetya

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (3)

‘Saya harus melawan’

14 Mei 1998. Ita Fatia Nadia yang kala itu menjabat sebagai direktur Yayasan Kalyanamitra – lembaga pemerhati isu perempuan – tak henti menerima pengaduan kasus perkosaan di sejumlah kawasan saat kerusuhan melanda Jakarta 26 tahun silam.

Suasana ibu kota dan sekitarnya saat itu mencekam dengan sejumlah gedung serta pertokoan dijarah dan dibakar massa.

Suatu saat, Ita mendapat telepon pengaduan tentang seorang bocah perempuan berusia 11 tahun di Tangerang menjadi korban perkosaan. Anak tersebut diperkosa menggunakan botol yang kemudian pecah di alat reproduksinya, kondisinya kritis saat itu, kata Ita.

Ibu dan kakaknya – yang juga diperkosa – meninggal pada saat itu juga.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (4)

Sumber gambar, Erik Prasetya

Ita menunggui bocah perempuan bernama Fransisca tersebut di sebuah klinik, seraya terus mengajaknya berbicara. Anak itu meninggal dalam pelukannya, tak lama kemudian, sekitar pukul 12 siang.

“Dia pegang tangan saya, terus dia minta pipi saya menempel di pipinya. Jadi dia pegang erat sekali, ” ujar Ita.

Lambat laun, genggaman tangan bocah itu melemah. Tubuhnya terbujur kaku.

Setelah memandikan dan membersihkan serpihan botol yang bersarang di tubuh Fransica, Ita memakaikan baju baru yang baru saja dia belikan untuknya di toko terdekat.

  • Kerusuhan Mei 1998: "Apa salah kami sampai (diancam) mau dibakar dan dibunuh?"

  • Hari-hari jelang Reformasi 1998 dalam gambar dan catatan

  • Sejauh mana generasi yang lahir setelah 1998 tahu soal Tragedi '98?

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca

Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Jenazah Fransisca kemudian dikremasi di sebuah krematorium di Cilincing, Jakarta Utara. Ita turut dalam proses kremasi anak tersebut.

“Di Cilincing, kami harus menunggu karena kremasinya baru besok, ya sudah saya tidur di tempat kremasi itu yang gelap.”

Setelah kremasi dilakukan keesokan harinya, Ita membawa abu Fransisca dan melarungnya di lautan utara Jakarta.

Pengalaman mendampingi para korban kekerasan dalam peristiwa Mei 98 – terutama Fransisca – mengubah hidup Ita Fatia Nadia secara total.

Selama beberapa hari setelah kematian Fransisca, Ita merasa tak mampu menjalani hidup seperti sedia kala lantaran ketidakadilan yang dialami bocah perempuan tersebut.

“Itu yang membuat saya, boleh dikatakan mungkin saya dendam. Saya bilang, ‘Tidak, saya harus melawan’,” ujar Ita mengenang tekadnya untuk bangkit saat itu.

Bagi Ita, kematian Fransisca – dan Ita Martadinata beberapa bulan kemudian – memperkuat semangatnya untuk terus memperjuangkan keadilan, tak hanya bagi keduanya, tapi bagi korban kekerasan seksual yang lain.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (5)

Sumber gambar, Erik Prasetya

“Dua orang itulah yang memperkuat saya untuk terus secara tegas bahwa hidup saya adalah untuk kemanusiaan, untuk memperjuangkan mereka,” katanya kemudian.

Merujuk laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998 yang dibentuk beberapa bulan setelah peristiwa Mei 98, meskipun korban kekerasan tidak semuanya berasal dari etnis China, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 lalu diderita oleh perempuan etnis China. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial.

Adapun jumlah total korban perkosaan dan pelecehan seksual massal yang melapor sampai 3 Juli 1998 adalah 168 orang. Dari angka itu, korban kekerasan terhadap perempuan yang diverifikasi tim tersebut sebanyak 85 perempuan.

Rinciannya, 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan sembilan korban pelecehan seksual.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (6)

Sumber gambar, Erik Prasetya

Perbedaan jumlah yang cukup signifikan ini, menurut Ita, lantaran sebagian besar korban merasa trauma dengan kekerasan seksual yang mereka alami, sehingga proses verifikasi sulit dilakukan.

Selain itu, beberapa korban langsung dibawa keluar negeri pascaperistiwa Mei 98 untuk pemulihan, atau atas kemauan pribadi.

“Misalnya dua mahasiswa Trisakti yang dipotong payudaranya, itu kan langsung pergi ke luar negeri ya, ke Singapura untuk berobat.”

“Kemudian beberapa korban-korban yang lain langsung pergi ke Singapura sehingga mereka tidak tercatat atau mereka tidak bisa ditemui oleh tim gabungan pencari fakta atau TGPF, sehingga perbedaan dalam jumlah itu cukup signifikan,” kata Ita.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (7)

Pada 14 Mei 1998, Siska dan teman kuliahnya, Erna – keduanya bukan nama sebenarnya – dipaksa masuk ke dalam mobil oleh empat pria kala sedang menunggu bus di sekitar Jembatan Slipi, Jakarta Barat.

Di dalam mobil tubuh mereka diraba-raba. Tanpa rasa kasihan, salah satu dari pria itu lalu memotong payudara kedua mahasiswi tersebut dan menurunkan mereka di suatu tempat di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

“Sampai sekarang aku masih ingat wajah mereka. Malah, waktu aku jalan-jalan bersama Mama di sebuah mal, tiba-tiba aku bertemu dengan salah satu laki-laki itu,” ujar Siska, seperti dikutip dalam laporan Komnas Perempuan yang bertajuk Disangkal! yang dirilis 2003 silam.

“Ia sedang berjalan bersama istri dan anaknya. Aku langsung lemas, berkeringat dingin dan terkencing-kencing,” tuturnya kemudian.

Setelah diselamatkan oleh tukang ojek, Siska langsung diterbangkan ke Singapura, ditemani ibu dan tantenya, setelah sebuah maskapai penerbangan asing bersedia menerbangkannya kendati dia tak punya paspor dan tiket.

Tiba di Singapura, Siska masuk rumah sakit dan menjalani operasi sebanyak dua kali. Selama dua tahun setelah peristiwa Mei 1998, dia berdiam di negeri itu menjalani proses penyembuhan.

“Pada saat awal, aku bisa histeris lima sampai enam kali sehari. Persis seperti orang gila. Aku mencakari rambut, muka dan perutku sendiri,” ujarnya seperti dikisahkan dalam laporan tersebut.

Akhirnya pada 1999 dia kembali ke Indonesia. Namun tiap kali melewati Jembatan Slipi, dia selalu merasa gelisah.

“Kalau ingat peristiwa itu, rasanya seluruh tubuhku gemetar dan berkeringat dingin. Tiba-tiba aku benci pada payudaraku sendiri.”

Trauma yang dia alami tak menyusutkan semangatnya untuk bangkit. Dia akhirnya melanjutkan dan menuntaskan studinya. Dengan perjuangan gigih, Siska berhasil lulus sebagai dokter dalam waktu relatif singkat.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (8)

‘Teror negara untuk menimbulkan ketakutan massal’

Menilik balik apa yang terjadi 26 tahun silam, Ita Fatia Nadia menilai kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa pada Mei 98 adalah “suatu teror yang dilakukan negara untuk menimbulkan ketakutan massal”.

Seperti diketahui, sebelum Mei 1998 Indonesia telah dilanda gejolak politik dan ekonomi. Dimulai dengan peristiwa Kudatuli – perebutan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) antara kubu Megawati Soekarnoputri dan kubu Soerjadi – pada Juli 1996.

Sebanyak lima orang tewas, 149 luka dan 23 orang hilang, menurut hasil penyelidikan Komnas HAM.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (9)

Sumber gambar, Erik Prasetya

Sejak pertengahan 1997, krisis finansial yang semula melanda Thailand meluas hingga ke Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar anjlok sem*ntara inflasi membuat harga bahan pangan melonjak.

Demonstrasi menuntut pengunduran diri Soeharto – yang telah memimpin Indonesia selama lebih dari 30 tahun terakhir – terus membesar layaknya bola salju yang menggelinding.

“Krisis ekonomi ketika itu pada tahun 1997 sudah menimbulkan satu gejolak sosial, yaitu penjarahan, kemudian mulai dengan demo-demo mahasiswa yang cukup masif,” ujar Ita.

Eskalasi demonstrasi mahasiswa mencapai puncaknya, setidaknya untuk saat itu, ketika pada 12 Mei 1996, ketika militer menembaki pada demonstran yang tak bersenjata. Empat mahasiswa: Elang Mulia Lasmana, Heri Hertanti, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie, terbunuh dan puluhan lainnya luka.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (10)

Sumber gambar, Erik Prasetya

Saat itulah, dirinya mulai menerima pengaduan perkosaan di sejumlah lokasi di Jakarta, termasuk di Pluit, Glodok, Cengkareng, Jembatan II dan Jembatan III.

“Semua perkosaan ini terhadap perempuan Tionghoa. Kenapa perempuan Tionghoa? Karena selama ini komunitas Tionghoa itu didiskriminasi, dibedakan,” kata Ita, merujuk pada aturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang diterapkan oleh Orde Baru.

Ketika terjadi perubahan politik, kata Ita, pemerintah mencari “kambing hitam” untuk meneror masyarakat. Dalam gejolak politik dan ekonomi pada 1998, etnis Tionghoa – yang berjumlah 3% dari total penduduk Indonesia saat itu, namun menguasai 70% perekonomian – menjadi kambing hitam tepat.

sem*ntara, merujuk pada struktur gender, perempuan – baik secara tradisi Tionghoa maupun dalam kultur Orde Baru – adalah warga kelas dua, menurut Ita.

“Negara atau penguasa membutuhkan sebuah teror dan berdasar teror itu lewat apa yang paling ampuh? Teror yang paling ampuh adalah lewat penganiayaan atau kekerasan terhadap perempuan atau seksualitas perempuan.”

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (11)

Sumber gambar, Erik Prasetya

Ariel Heryanto, sosiolog sekaligus profesor emeritus dari Monash University, Australia, berpandangan menganalisis insiden kekerasan seksual Mei 98 secara eksklusif berdasar etnis tidaklah akurat dan tidak adil.

“Seandainya Mei 1998 hanya semata-mata kekerasan antar etnis, skalanya tidak meluas, waktu kejadian pendek, dan metode kerjanya amburadul. Polisi dan penegak hukum akan bertindak,” ungkap Ariel.

“Bahkan sebagian warga masyarakat lain akan juga membatasi atau menengahi agar tindakan demikian tidak meluas. Tapi yang terjadi Mei 1998 berbeda,” ujarnya kemudian.

Berbeda dengan teori rasial, Ariel berpandangan kajian terhadap bentuk kekerasan pada bulan Mei 1998 menunjukkan kemungkinan terjadinya terorisme negara yang bersifat militeristik.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (12)

Sumber gambar, Erik Prasetya

“Beberapa ciri yang paling mencolok dari kekerasan seksual adalah skalanya yang sangat besar, simultanitasnya, polanya yang seragam, meskipun cakupan wilayah geografisnya luas, dan kemudahan dalam melakukan kekerasan seksual.”

Berbagai laporan menunjukkan adanya kasus penggunaan benda berbahaya (batang logam, pecahan botol, atau kawat berduri) yang digunakan pelaku untuk melukai organ reproduksi korban perempuan.

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998 yang dibentuk beberapa bulan setelah peristiwa Mei 98 menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, yakni korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian dalam waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain.

  • Tragedi Mei 1998 : Kenangan dua ibu yang kehilangan anaknya

  • 'Aktivis '98 tidak harus jadi politikus'

  • Korban kerusuhan Mei 1998, bagaimana kondisi mereka kini?

Ariel Heryanto dalam esainya, Rape, Race and Reporting (1999) menjelaskan bahwa “memaksa sesama korban untuk menyaksikan atau berpartisipasi dalam melakukan kekerasan adalah praktik standar dalam perang”.

Metode serupa juga terjadi dalam peristiwa-peristiwa kekerasan, seperti Tragedi 1965-1966, serta kekerasan politik di Aceh, Irian Barat dan Timor Timur yang terjadi sesudahnya.

Tidak mengherankan pada awal bulan November 1998, TGPF yang ditunjuk oleh pemerintah, membuat rekomendasi penyelidikan terhadap pertemuan di Markas Komando Strategis Angkatan Darat (Makostrad) pada tanggal 14 Mei 1998 guna “mengetahui dan mengungkapkan serta memastikan peranan” pejabat militer dalam seluruh proses yang menimbulkan terjadinya kerusuhan.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (13)

Sumber gambar, Erik Prasetya

Lebih lanjut, Ariel menyebut bahwa pemerkosaan politik, sama seperti semua kekerasan politik, adalah sebuah pernyataan yang melibatkan pemberi pesan, media, pesan, gaya dan audiens yang dituju.

“Tubuh yang diperkosa adalah semacam media yang bisa disamakan dengan tembok yang dicoret-coret dengan grafiti – ketika para pelaku menuliskan pesan-pesan yang ditujukan audiens yang lebih besar daripada perempuan-perempuan yang diserang secara langsung.”

Alih-alih menyebut peristiwa 98 dengan “kerusuhan” atau “tragedi”, Ariel lebih sepakat menyebutnya dengan istilah “teror negara bercorak rasial”.

Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menjelaskan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan pola kekerasan yang kerap ditemukan dalam situasi konflik, dengan sistem pemerintahan diktator.

Sayangnya, aku Mariana, penyelidikan dan pengungkapan terhadap kekerasan seksual cenderung diabaikan.

Disangkal dan dinegasikan

15 Juli 1998. Presiden BJ Habibie yang baru menjabat beberapa bulan menggantikan Soeharto yang lengser pada 21 Mei 1998 mengundang sejumlah tokoh perempuan ke Bina Graha di kompleks Istana Negara.

Pertemuan ini merupakan jawaban atas permohonan sekitar 22 perempuan dari berbagai latar belakang agama, etnis dan profesi untuk membahas dampak kerusuhan Mei 1998 terhadap perempuan.

Setelah berdiskusi dengan para perempuan, termasuk Ita Fatia Nadia yang turut hadir dalam pertemuan itu, Habibie membacakan pernyataan resmi pemerintah berkaitan dengan peristiwa Mei di hadapan awak media.

Kala itu, Habibie mengatakan bahwa pemerintah mengutuk dan meminta maaf atas terjadinya kerusuhan di berbagai kota besar yang telah membawa kerugian material dan penderitaan non-material bagi para korban.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (14)

Sumber gambar, Koleksi Komnas HAM

Penasihat militer presiden, Letjend Sintong Pandjaitan, yang turut hadir dalam pertemuan itu, sempat mempertanyakan sikap Habibie dan merekomendasikan untuk membahas sikap pemerintah dalam sidang kabinet.

Dengan halus, wakil presiden itu berkukuh bahwa dia setuju dengan para tokoh perempuan.

Pemerintah segera membentuk TGPF – yang sudah kami sebut sebelumnya dalam artikel ini – untuk menyelidiki peristiwa itu, dalam hal ini penyelidikan terhadap kasus kekerasan seksual menjadi bagian integral.

Terakhir, pemerintah segera membentuk Komnas Perempuan sebagai komisi yang independen.

Namun, seperti diungkap oleh Ariel Heryanto dalam esainya Rape, Race and Reporting (1999), sejumlah kelompok non-pemerintah justru mengecam sikap pemerintah dengan mengeklaim bahwa isu pemerkosaan telah dibesar-besarkan.

  • Turun ke jalan sampai terjebak kerusuhan: Apa yang terjadi di kota Anda pada Mei 1998?

  • Polemik kerusuhan Mei 1998: Kivlan Zen dan Wiranto diminta keluarkan keterangan resmi ke kejaksaan

  • Dokumen rahasia AS diungkap: 'Prabowo perintahkan penghilangan aktivis 1998'

Alih-alih berfokus pada penyelesaian kasusnya, perhatian publik justru mempertanyakan para relawan bisa menjamin keabsahan kesaksian para korban dan apakah mereka mampu membujuk para korban untuk bersaksi di depan umum.

“TGPF juga menyatakan bahwa terjadi perkosaan terhadap etis Tionghoa, tapi tidak pernah perkosaan ini menjadi poin penting sebagai persoalan kemanusiaan yang paling hebat di Indonesia ketika reformasi. Itu disangkal, itu dinegasikan,” tegas Ita Nadia.

Merujuk pada teori budaya kekerasan John Galtung, Ita mengatakan bahwa budaya kekerasan ini menjadi normal karena negara tak memberikan perhatian dan tindak menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang menggunakan seksualitas perempuan.

“Potensi fenomena ini, ini saya khawatir. Semakin lama akan semakin meningkat,” kata dia.

Dilema penyelesaian non-yudisial

Pada awal 2023 silam, Presiden Joko Widodo mengakui dan menyesalkan terjadinya sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu usai menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa, dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat," kata Presiden Jokowi dalam konferensi pers pada 11 Januari 2023.

Tim ini dibentuk Jokowi pada setahun sebelumnya untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Setidaknya terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat, termasuk Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Hentikan YouTube pesan, 1

Izinkan konten Google YouTube?

Artikel ini memuat konten yang disediakan Google YouTube. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Google YouTube kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.

Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal Konten YouTube mungkin memuat iklan

Lompati YouTube pesan, 1

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan mekanisme non-yudisial dan yudisial “harus berjalan bersamaan dalam pelanggaran HAM berat di masa lalu”.

Menurut Komnas Perempuan, kedua mekanisme itu dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus secara menyeluruh, memulihkan hak-hak korban, dan mencegah terulangnya kembali kasus pelanggaran HAM di masa depan.

Pada akhir 2023 lalu, tim pemantau pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial PPHAM melaksanakan program pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat. Ini merupakan kelanjutan dari diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (15)

Sumber gambar, Erik Prasetya

Beberapa program pemenuhan hak korban yang diberikan antara lain Kartu Indonesia Sehat Prioritas dari Kementerian Kesehatan dan Program Keluarga Harapan dari Kementerian Sosial.

Pemenuhan hak korban ini berdasar hasil pendataan dan inventarisasi kebutuhan korban yang telah dilakukan oleh tim pemantau PPHAM.

Sayangnya, menurut Mariana dari Komnas Perempuan, persyaratan pemberian bantuan berdasar hasil pendataan berdasar nama dan alamat itu memberatkan penyintas kekerasan seksual 98.

“Untuk yang satu ini sulit bagi korban untuk mengungkap bahwa dirinya adalah korban, dan itu adalah keputusan mereka, ujar Mariana.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (16)

Sumber gambar, Erik Prasetya

“Karena malu sekali, itu [suatu hal] yang pribadi,” ungkapnya, seraya menanyakan keamanan identitas para korban jika data itu dibagikan.

“Bagaimana negara menjamin keamanan data pribadi mereka?”

“Kalau nama dan alamat mereka dikumpulin dan diminta, terus semua orang jadi tahu, siapa yang bisa menjamin keamanannya?”

Mariana melanjutkan bahwa dalam beberapa konteks kasus pelanggaran HAM berat, perempuan korban memikul dampak yang lebih berat seperti pengalaman kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya, yang membuat kondisi mereka jadi lebih rentan.

“Oleh karena itu, kesetaraan substantif diperlukan untuk memastikan agar pemulihan memiliki dampak yang tepat bagi korban,” jelas Mariana.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (17)

Sumber gambar, Erik Prasetya

Dalam hal ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah pihak yang berwenang menyatakan seseorang adalah korban pelanggaran HAM berat dan berhak memperoleh pemulihan.

Selama 2023 silam, Komnas HAM telah menerbitkan 930 surat keterangan kepada Korban Pelanggaran HAM Berat (SKKPHAM). Sebanyak 15 di antaranya adalah penyintas kerusuhan 98, namun belum diketahui apakah dari 15 orang tersebut ada korban kekerasan seksual.

Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Abdul Haris sem*ndawai memahami kekhawatiran penyintas kekerasan seksual Mei 98 yang disuarakan Mariana Amiruddin, namun dia menegaskan bahwa assessment yang dilalukan pihaknya bersifat “rahasia”.

“Kita mencoba untuk menjaga dan melindungi para korbannya sehingga diharapkan bahwa asesmen yang kita lakukan itu tidak kemudian membuat si korban itu mengalami retraumatisasi,” jelas Haris.

Demikian halnya jika mereka memerlukan layanan psikologi, katanya, Komnas HAM bisa berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau asosiasi psikolog Indonesia.

“Jadi sebenarnya perspektif kita akan penting adalah perlindungan, kerahasiaan korban di Komnas HAM ini sudah cukup baik, dan tidak semua orang Komnas HAM ini menangani. Hanya mereka yang memiliki kualifikasi, tugas tanggung jawab tertentu, yang bisa menangani para korban ini,” tegasnya.

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (18)

Sumber gambar, Erik Prasetya

Sayangnya, kata Haris, pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat itu kini terkendala sebab aturan keputusan presiden yang menjadi dasar pembentukan Tiim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM tak kunjung diperpanjang oleh pemerintah, sehingga selama lima bulan terakhir sejak masa kerja im Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM berakhir pada Desember silam, hingga kini belum ada tim pemantau baru.

Pesta demokrasi pemilihan umum beberapa bulan lalu dipandang menjadi salah satu alasan mengapa Keppres itu belum diperpanjang. Seperti diketahui, Mahfud MD yang kala itu menjabat sebagai Menkopolhukam mengundurkan diri lantaran menjadi maju sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024.

Haris mengatakan, Komnas HAM akan bertemu dengan Presiden Joko Widodo untuk mendorong agar Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi ini dilanjutkan.

“Khususnya di sisa-sisa pemerintahan beliau ini, dalam rangka untuk menjangkau korban yang belum memperoleh pemulihan dan atau korban yang sudah masuk dalam program pemulihan, tapi pemenuhan haknya belum maksimal.”

Kepada BBC News Indonesia, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Mugiyanto, menjabarkan bahwa masa kerja Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM yang dibentuk berdasar Keppres No. 4 tahun 2023 memang selesai tanggal 31 Desember 2023.

Namun, kata Mugiyanto, pelaksanaan rekomendasi PPHAM untuk pemulihan hak korban dan pencegahan keberulangan yang diatur dalam Inpres No. 2 tahun 2023 untuk 19 Kementerian dan Lembaga terus berjalan.

"Tidak ada batas waktu dalam Inpres tersebut. Kemenko Polhukam da kami di KSP terus memantau pelaksanaan Inpres. Terkait perpanjangan Keppres No. 4 tahun 2023 tentang Tim Pemantau masih dimatangkan oleh Kemensetneg (Kementerian Sekretaris Negara)," jelas Mugiyanto.

Hentikan YouTube pesan, 2

Izinkan konten Google YouTube?

Artikel ini memuat konten yang disediakan Google YouTube. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Google YouTube kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.

Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal Konten YouTube mungkin memuat iklan

Lompati YouTube pesan, 2

Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’ - BBC News Indonesia (2024)

References

Top Articles
Latest Posts
Article information

Author: Jamar Nader

Last Updated:

Views: 5655

Rating: 4.4 / 5 (55 voted)

Reviews: 86% of readers found this page helpful

Author information

Name: Jamar Nader

Birthday: 1995-02-28

Address: Apt. 536 6162 Reichel Greens, Port Zackaryside, CT 22682-9804

Phone: +9958384818317

Job: IT Representative

Hobby: Scrapbooking, Hiking, Hunting, Kite flying, Blacksmithing, Video gaming, Foraging

Introduction: My name is Jamar Nader, I am a fine, shiny, colorful, bright, nice, perfect, curious person who loves writing and wants to share my knowledge and understanding with you.